Tuesday, September 7, 2010

Hukum Solat Jumaat Jika Solat Hari Raya Pada Hari Yang Sama


HUKUM YANG BERLAKU DALAM MAZHAB SYAFI’I

Hukum yang berlaku dalam Madzhab Syafi’i andai kata terjadi Hari Raya pada hari Juma’at, baik Hari Raya ‘Idul Fithri atau Hari Raya Haji, maka sembahyang Jumat wajib dikerjakan sebagaimana biasa, di samping pagi-paginya sunat melaksanakan sembahyang Hari Raya.
Hal demikian dijumpai dalam kitab-kitab fiqh Madzhab Syafi’i sebagaimana tersebut di bawah ini.

Kesatu:
Tersebut dalam Kitab Umm karangan Imam Syafi’i:

Artinya:
Tidak boleh bagi penduduk kota meninggalkan sebahang Jumat, walaupun pada hari raya sekalipun, kecuali kalau ada ‘udzur yang membolehkan meninggalkan Juma’at. (Lihat Kitab UMM, Juz I Hal 239).

Yang dimaksud dengan perkataan “kota” di sini ialah suatu negeri yang punya syarat yang cukup untuk menidirikan Jumat dan biasanya Sholat Jumat didirikan di situ.

Kedua:
Tersebut dalam Kitab Syarah Muhadz-dzab:
Artinya:
Adapun hukum maka berkata Imam Syafi’i dan sahabt-sahabat beliau: Apabila bersamaan Hari Raya dengan Hari Jumat, dan hadir ke kota penduduk pinggiran yang wajib sembahyang Jumat baginya karena kedengaran Adzan, lantas semuanya mengerjakan Shalat ‘Ied tidaklah gugur Jumat bagi penduduk negeri. Hal ini tidak ada perbedaan pendapat. tetapi bagi penduduk pinggiran tadi ada dua pendapat: Yang satu gugur Jumat dan pendapat yang kedua yang sah dan yang telah ditetapkan oleh Imam Syafi’i dalam Kitab Umm dan di dalam kata Qadim, bahwasanya Jumat gugur bagi orang itu. (Syarah Muhadz-dzab Juz IV Hal. 491)

Jelas dalam nash ini, bahwa bagi penduduk negeri wajib mengerjakan sembahyang Jumat pada Hari Raya sesudah zawal, walaupun mereka sudah sembahyang Hari Raya pagi hari.

Adapun penduduk dusun yang tidak ada sebahyang Jumat di dusunnya, terdapat dua fatwa dalam Madzhab Syafi’i:
1. Mereka wajib juga sembahyang JUmat pada Hari Raya itu, sebagai biasa, karena mereka mendengar adzan orang negeri.
2. Bagi mereka tidak wajib lagi sembahyang Jumat.

Fatwa yang kedua ini difatwakan oleh Imam Syafi’i di kitab Umm dan juga kitab-kitab “Qaul Qadim” (Syarah Muhadz-dzab Juz IV Hal. 491).

Kesimpulan hukum dalam Madzhab Syafi’i:
a. Wajib juga sembahyang Jumat bagi orang kota (negeri) sebagai biasa, walaupun mereka sembahyang Hari Raya pagi hari.
b. Orang dusun yang sudah sembahyang Hari Raya pagi-pagi tidak wajib lagi bagi mereka sembahyang Jumat, tetapi kalau ia sembahyang Jumat sah juga.
Merek diberi keringanan, karena kalau mereka diwajibkan kembali kekota tentu sulit bagi mereka dua kali ke kota dalam satu hari. Merek boleh sembahyang Zuhur saja di dusun mereka.

Bagi orang di kampungnya biasa ada sembahyang Jumat, maka tidak boleh meninggalkan sembahyang Jumat, waluapun pagi harinya telah sembahyang ‘Ied.

Terkait Khutbah ‘Id Sayyidina Utsman:
Yaa ayyuhannaasu qodijtama’a ‘iidaani fii yawmiku, faman arooda min ahlil ‘aaliyati an yusholliya ma’anaal jumu’ata falyusholli wa man arooda yanshorifa falyanshorif.

Artinya:
Hai manusia, sesungguhnya telah berhimpun dua hari raya (maksudnya Hari Jumat dan Hari Raya Id), maka siapa-siapa diantara orang-orang “Aliyah” mau ikut sembahyang Jumat dengan kami silakan ikut, dan siapa yang hendak pulang boleh pulang. ( Kitab Muhadz-dzab Bab Sembahyang Jumat)

Yang dimaksud orang-orang “aliyah” atau “Awali” ialah orang-orang pinggiran Kota Madinah yang terdiri bukit-bukit. Ada yang mengartikan “aliyah” ini suatu kampung di bukit di sekitar Madinah yang jaraknya lebih kurang 6 kilometer.

Sayyidina Utsman ra. memberi rukshoh (keringanan/kelonggaran) kepada orang-orang itu, sehingga barang siapa mau pulang ke dusunnya sesudah Sembahyang Hari Raya ‘Id boleh saja dan teka perlu lagi kembali untuk sembahyang Jumat ke Masjid Madinah. Tetapi cukup dengan mengadakan Sembahyang Zuhur saja di dusunnya.

Mengapa sebab Sy. Utsman ra. memberikan kelonggaran?
1. Mereka pada hakekatnya tidak wajib juga sembahyang Jumat, karena Jumat tidak didirikan di dusunnya. Sesudah sembahyang Hari Raya di Masjid Madinah pagi-pagi mereka diberi kelonggaran pulang, tak perlu menunggu sembahyang Jumat di kota.
2. Kalau mereka sudah kembali ke dusunnya dan disuruh lagi kembali ke kota Madinah untuk Sembahyang Jumat di waktu Zuhur , tentu sangat musyaqat baginya. Maklum dusun-dusun di ‘Awali itu ada yang jaraknya 6 km dari Masjid Nabi.

Musyaqat adalah salah satu udzur yang menggugurkan Jumat. Orang-orang Qoryah (dusun) yang macam itulah yang diperbolehkan Nabi tidak mengerjakan Sholat Jumat di Hari Raya (desa/dusun terisolir atau terpencil). Dan itulah dalil bagi Imam Syafi’i untuk memfatwakan bahwa penduduk Qoryah (dusun) yang datang sembahyang Idul Fithri ke Masjid Madinah boleh tidak datang lagi untuk sembahyang Jumat, kalau kebetulan hari raya bertepatan dengan hari Jumat.
Lain halnya bila di kampungnya biasa didirikan sembahyang Jumat, tidak boleh meninggalkan (wajib) sembahyang Jumat, walau telah sembahyang ‘Ied di pagi harinya.

http://forum.asyraaf.net/viewthread.php?tid=2841

No comments: